ADIT, AKU BENCI KAMU

Di kamarku, suatu malam, pukul 22.15 WIB.
Aku berbaring di atas kasurku. Menatap langit-langit kamar. Membayangkan wajah adit yang sedikit oriental. Sorot matanya yang sipit, membuat degup jantungku berantakan. Mengingat hal ini, rasanya tetesan air bening ingin jatuh dari pelupuk mataku.
Gimana nggak ?Sudah sebulan aku mengenalnya, tapi harus bubar di tengah jalan. Adit ternyata cowok brengsek yang ada bedanya sama cowok playboy kebanyakan ! mengingatnya, aku menjadi sebel banget. Setiap kali hendak kulupakan wajahnya, yang terjadi justru terus terbayang-bayang. Aku tak bisa melenyapkan dirinya barang sedikit saja. Buset !

Di koridor sekolah, tiga minggu lalu, jam istirahat…
“Eh, Cha, lihat tuh cowok yang lagi dribble bola! Keren banget ya…”
“Nggak lo suruh, gue udah liat, kok!”
“Sial, lo!”
“Namanya siapa, sih ?”
“Adit ! Anak pindahan dari SMA tukar guling!”
“Anak pindahan SMA tukar guling ?! Maksudnya apa, Rin ?!”
“Maksudnya, SMA si Adit tuh, terpaksa ditukar dengan bangunan mal. Ia dan teman-temannya pindah ke SMA lain. Dan, Adit memilih sekolah ini !”
“Untung ada tukar guling ! Gue jadi bias ngeliat tuh anak !”
“Dasar lo ! Makanya, mumpung ada kesempatan, lo godain, gih !”
“Nggak, ah! Gue nggak pede!”
“ Cepetan! Ntar diserobot cewek lain, baru tau rasa lo!”
Karena desakan Echa, dan keinginanku mengenal Adit yang menggebu-gebu, aku mencoba mendekatinya. Aku masih belum tahu gimana cara menarik perhatiannya. Masa bodo, ah! Yang penting usaha dulu. Kebetulan, tuh cowok duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan, mengelap keringatnya yang ampun-ampunan derasnya.
Aku duduk di bangku itu, di sebelahnya. Ya, ampun ! Baru kali ini aku merasa seperti berada di tempat asing. Padahal, ini sekolahku. Aku kok, jadi panas dingin begini ? Aku hampir nggak kuat duduk di sebelahnya. Karena selain nggak tahan ngeliat tampangnya, aku juga mikirin apa langkah selanjutnya agar aku bias ngobrol dengannya.
Apa kira-kira, kata pertama yang semestinya kutanyakan kepada Adit ?
“Hai ! Adit ya …?”Uh, kayaknya kampungan banget! Atau, “Permainan kamu bagus banget, deh! Siapa nama kamu?” Wuih, kayaknya basi banget! Atau, “Boleh kenalan, nggak ?” Huaaaa! Kok, jadi malah norak ? Ntar bisa dicap cewek kegatelan lagi !
Belum sempat berkata-kata, Adit meninggalkan bangku panjang itu. Aku hanya bias menarik napas kuat-kuat, lalu mengembuskannya perlahan karena saking gugupnya. Ketika pergi, Adit nggak membawa handuknya yang tadi buat mengelap keringatnya. Nah, ini nih kesempatan emas, agar aku bisa bercakap-cakap dengannya.
Handuknya itu kuambil, lalu aku mengejarnya.
“Adit !”
Adit berhenti. Aku berlari ke arahnya.
“Handuk kamu ketinggalan …”
Kuberikan handuk itu padanya. Adit menerimanya. Tapi, ketika kutatap wajanhya, keningnya berkerut-kerut, seolah aneh atas sikapku yang menurutku sungguh mulia.
“Sorry, aku tahu nama kamu dari temanku!”
“Makasih!Tapi,handuk ini emang sengaja aku taruh dibangku itu!Ntar juga aku balik lagi !”
HUAAAAAAHHH! Tiba-tiba, bumi gonjang-ganjing. Lututku langsung gemetaran. Semprul! Mau ditaruh dimana mukaku ?! Mati gaya beraaaat !
“ Ya udah, aku taruh lagi, ya …”
Setelah itu, kuletakkan kembali handuk itu. Diam-diam, kutinggalkan bangku panjang itu, menuju kelasku. Namun, sebelum tiba di kelas, Echa menyambutku di ujung koridor. Ia tersenyum-senyum mentapku.
“Selamat, ya! Hebat juga lo !”
“Hebat apaan, Cha?”
“Baru kenal, udah di percaya bawa-bawa handuknya …”
“Kampret lo ! Elo pikir, gue baik-baik aja?! Nih lo dengerin …” Kutarik telapak tangan Echa tepat di dadaku. Echa menurut, merasakan ada suara berdetak-detak seperti suara bas drum. Duk! Duk! Duk!

Tiga jam setelah malu karena salah memberikan handuknya …
Aku jadi nggak konsen pada jam pelajaran terakhir. Aku masih aja teringat pada kebodohanku di pinggir lapangan basket tadi. Dengan langkah gontai, kutinggalkan gerbang sekolah. Siang ini, aku pulang sendirian karena Echa dijemput gebetannya.
Ketika baru selangkah meninggalkan gerbang, seseorang memanggilku dari atas sepeda motornya.
“ Hai …! Mau bareng …?”
Ya ampun …! ADIT !
“Aku …”
Huh! Mulai deh, gengsinya !
“Ayo! Bareng aku! Kamu yang tadi ngasih handuk, kan ?”
Yaelaaaa, dia pake sok lupa segala! Baru tiga jam …
“Oke, deh !”
Nah! Gitu, dong! Pake pura-pura!
Akhirnya, aku ikut diboncengnya. Kupikir, ternyata ada untungnya juga kejadian tadi siang. Meskipun ada acara mati gayanya, aku cukup beruntung bisa memberikan handuknya itu.

Di sebuah warung bakso, sepulang sekolah …
Adit mengajakku mampir di warung bakso. Kebatulan, aku juga agak-agak lapar. Tapi … ketika ia menawarkan bakso itu, aku sok-sokan menolak…
“Jadi, kamu nggak mau makan ?”
“Aku minum aja, deh …”
Lho?! Sebel rasanya sama diriku yang sok jual mahal. Kenapa aku nggak terus terang aja kalau aku juga lapar ?
“Bener nih, nggak mau makan …?”
“Nggak, deh. Aku minum the botol aja !”
Huuuuh! Bener-bener sok deh, aku ini! Bener-bener muna!
Akhirnya, aku menemani Adit yang ternyata cukup rakus. Adit memesan dua mangkuk bakso untuk dirinya sendiri.
“ Sorry ya, lapar berat, nih …”
Aku Cuma tersenyum. Adit menikmati bakso dengan lahapnya. Tenggorokanku ceglak cegluk. Sial ! Aku jadi lapar beraaaat! Tapi, aku nggak mau menarik kata-kataku sendiri. Biar saja lapar ini kutahan.

Di pinggir lapangan, seminggu setelah menenami Adit makan Bakso …
Bangga juga duduk di pinggir lapangan, menunggui Adit main basket. Apalagi permainan Adit begitu memukau. Semua penonton bersorak sorai menyambut kehebatan Adit mengecoh lawan, memasukkan bola ke ring dengan cara slam dunk ! Satu-dua cewek histeris, bereteriak-teriak menyebut-nyebut namanya.
Saat break, Adit melangkah ke arahku. Aku memberinya handuk. Adit duduk di sebelahku sambil mengelap keringatnya, lalu meletakkan handuk itu di pangkuannya. Sungguh, aku merasa pede sekali. Aku merasa, cewek-cewek yang tadi bersorak-sorak, iri melihat kedekatanku dengan Adit siang itu.

Tiga jam setelah menemani Adit main basket …
Seperti biasa, pulang sekolah, aku ikut boncengan motor Adit. Echa yang memaksa-maksa ingin pulang bareng, kutolak mentah-mentah. Enak aja ! Kalo dijemput cowoknya, aku dicuekin pulang sendiri. Pas nggak dijemput, baru deh, minta pulang bareng! Gantian, dong! Sekarang, aku yang giliran pulang bareng dengan cowokku! Eeeh … cowokku ?! Ngaku-ngaku aja, ya….? Baru seminggu ikut boncengan, udah ngaku-ngaku! Padahal aku dan Adit nggak pernah menyinggung-nyinggung soal kedekatan ini! Sumpeh !

Dua minggu kemudian …
Siang itu, aku pulang bareng Echa karena Adit lagi ada urusan. Entah urusan apa.
“Gimana rasanya pulang sekolah nggak bareng pacar ?”
“Pacar apa?! Pacar, pacar ! Jangan asal sebut, deh !”
“Setiap hari diboncengin motor, apa bukan pacar namanya ?!”
“Nggak taulah !”
“Lho?! Elo kok, gitu sih, Rin ?! Kok, jadi balik nggak pede gini ? Baru nggak dianter pulang sehari aja, udah kayak orang patah hati gitu ?”
Si Echa ini bener-bener nggak atu, apa?! Aku dan Adit kan, punya masalah yang cukup besar ! Bayangin aja ! Sampai detik ini, dua minggu sejak pulang bareng dengannya, aku masih aja nggak habis pikir. Bingung pada sikap Adit yang menurutku sangat tidak sopan !
Gimana nggak ? Masa sejak pertama kali ketemu, Adit nggak pernah sekali aja menyebut namaku ? Aku khawatir, jangan-jangan, Adit nggak tahu siapa namaku ?! Sempruuuuul !!!

Sehari setelah pulang nggak bareng Adit…
“Lho! Nggak bareng Adit lagi ?!”
“Nggak, ah! Males!”
“Kenapa, Rin?”
“Aku ingin pulang sendiri aja!”
“Ya, udah! Kalo gitu, aku duluan, ya…!”
Echa dan cowoknya meninggalkan aku yang jalan sendirian. Nggak lama kemudian, motor Adit tiba disampingku. Adit tersenyum menatapku. Begitu pula cewek yang duduk di boncengannya.
“Hei! Kita duluan, ya …!”
Aku mengangguk, melepas kepergiannya. Setelah itu, mendadak air mataku tumpah di pipi. Aku menangis sepanjang jalan menuju halte bus.

Di kamarku, malam ini, pukul 22.15 WIB …
Sejak kejadian siang tadi, aku mengurung diri di kamarku. Hanya berbaring di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar. Membayangkan wajah Adit yang sedikit oriental. Sorot matanya yang sipit, membuat degup jantungku berantakan. Mengingat hal ini, rasanya tetesan air bening ingin jatuh dari pelupuk mataku.
Gimana nggak ?Sudah sebulan aku mengenalnya, tapi harus bubar di tengah jalan. Adit ternyata cowok brengsek yang ada bedanya sama cowok playboy kebanyakan ! mengingatnya, aku menjadi sebel banget. Setiap kali hendak kulupakan wajahnya, yang terjadi justru terus terbayang-bayang. Aku tak bisa melenyapkan dirinya barang sedikit saja. Bujubuneng !

Lima detik kemudian, telepon berdering …
“Halo!”
“Hai, Rin ! Gue Adit ! Apa kabar ?”
“Adit ???!”
“Iya, gue !”
“Kok, tau ….nomorku ?!”
Wajar dong, kalo aku tanya gitu ? Aku belum pernah memberinya nomor telepon. Jangankan tanya nomor telepon, tanya namaku saja dia belum pernah !!! Tapi …tadi dia menyebut namaku juga …?
“Tau, dong …! Kan, punya banyak mata-mata. Ngomong-ngomong, kamu lagi ngapain ?”
“Lagi bĂȘte ! Kenapa sih, malam-malam gini nelepon ?!”
“Kangen aja! Eh…besok kita pulang bareng lagi, ya …”
“HAH ???!”
“Kok, hah ?!”
“Ntar, cewek yang tadi kamu anter , marah !”
“Tadi itu temenku! Dia kan, Cuma buat manas-manasin kamu aja!”
“APAAA?! BUAT MANAS-MANASIN AKU ?! BRENGSEK LO, DIT!”Klik! Telepon langsung kututup. Tak lama kemudian, telepon itu bunyi lagi. Kubiarkan saja telepon itu menjerit-jerit hingga mamaku yang mengangkat. Dan, mama memaksa agar aku menerima telepon dari cowok bernama Aditya itu. Aku bilang, aku tak mengenalnya. Biar saja! Habis, aku benci banget sama dia !

0 komentar: