Cowok itu selalu berada di loteng rumahnya. Setiap kali ke sekolah, aku selalu melihatnya, menemukan cowok itu duduk menjuntaikan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Di lain waktu, aku melihat ia tengah menyandar pada dinding loteng yang tidak terlalu tinggi itu. Ia duduk dengan santai, seolah menikmati hari-hari tanpa beban berarti. Dan di lain kesempatan, ketika pulang sekolah, aku menemukan cowok itu tengah tidur pulas di sebuah bangku malas, di lotengnya yang menghadap ke jalan dan bisa dilihat dengan jelas dari bawah rumahnya itu.
Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi tak berani menyapanya. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengenalnya. Aku hanya ingin bertanya, mengapa dia senang sekali berada di atas loteng rumahnya. Mengapa dia tidak berada di kamarnya saja, sehingga orang-orang tidak mengetahui apa yang tengah dilakukannya, Oh, jangan-jangan, di kompleks perumahanku ini, mungkin cuma aku yang selalu memerhatikan cowok itu ?
Ketika kutanyakan pada Gadis, temanku satu sekolah yang rumahnya satu kompleks dengan rumahku, ia bilang tak pernah memerhatikan seorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu. Saat kutanyakan, Gadis pun tahu, sebuah rumah berlantai dua yang lotengnya bagus, yang ada kursi malas di bagian sudutnya, yang di dekat jendelanya di tumbuhi pohon mangga. Selain jemuran, ia tak pernah melihat seseorang, laki-laki atau perempuan, tengah berada di atas loteng tersebut.
“Masa elo nggak pernah lihat ?” selidikku.
“Nggak pernah ! Sungguh !”
“Elo pernah lewat di depan rumah itu, kan ?”
“Pernahlah! Yang cat biru, kan ?”
“He-eh!”
“Yang loteng rumahnya agak luas dan pintu pagarnya selalu tergembok, kan ?”
“Tepat!”
“Gue kok, nggak pernah lihat siapa-siapa, ya ?”
“Ya udah, mungkin lain kali elo akan melihatnya. Tapi ingat ya, dia udah milik gue !” Kataku sambil melotot lucu, membuat Gadis tertawa geli.
BEGITULAH Gadis, cewek satu kompleks yang mengaku tak pernah melihat cowok itu. Aku yakin, mungkin Gadis tak pernah memerhatikan seseorang yang berada di atas loteng itu, sehingga ia tak pernah memedulikannya. Kalau dia pernah melihatnya, pasti dia akan merasa sangat takjub pada paras cowok yang begitu keren itu. Di kompleks perumahan ini, tak pernah kulihat cowok sekeren dia!
“Emang, cowoknya keren banget apa ?” tanya Gadis kemudian.
“Kayaknya, di kompleks ini, dia tuh nggak ada duanya !”
“Masa , sih ?!”
“Kalo nggak percaya, liat aja sendiri !”
“Iya deh, ntar gue liat !”
“Tapi jangan macam-macam, ya !”
“Hihihi …, tenang ! Emang gue cewek apaan, sih ! Kalo perlu, gue dukung elo, deh !”
“Nah … gitu, dong !”
Setelah mendengar ceritaku, Gadis pun ingin membuktikannya sendiri. Kalu biasanya ia sekolah lewat jalan pintas yang lebih dekat, belakngan ini ia lewat melaui pintu gerbang kompleks agar bisa melewati rumah berlantai dua yang kumaksud. Ia ingin membuktikan ceritaku, tentang seseorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya. Ia juga ingin tahu, seberapa kerennya cowok itu.
Tetapi, sudah dua hari lewat di depan rumah itu, Gadis mengaku tak pernah melihat apa-apa selain kursi malas, tiang jemuran, dan cabang pohon mangga yang menjuntai !
“Apakah karena cowok itu tak pernah lagi berada di loteng rumahnya ?” tanya Gadis, yang mengaku sudah dua hari berturut-turut selalu lewat di depan rumah cowok itu.
“Elo nggak liat ?”
“Nggak pernah !”
“Sekalipun ?”
“Nggak pernah ! Sumpah, deh !”
“Kemarin siang, elo lewat jam berapa ?”
“Jam setengah tujuhan !”
“Setengah tujuhan ? Gue lewat rumah itu jam setengah tujuh lewat ! Gue lihat cowok itu tengah menjemur handuk, seperti habis mandi ! Cowok itu mengeringkan rambutnya, membelakangi mata hari !”
“Ah, masa ?!”
“Bener ! Masa elo nggak liat ?”
“Mungkin pas gue lewat, dia lagi mandi kali ?”
“Mungkin juga, sih. Tapi, kemarinnya lagi, lo liat nggak ?”
“Lo gimana sih, Zha ?! Kalo ngeliat, itu namanya pernah ! Gue kan, udah bilang, gue nggak pernah liat cowok itu !”
“Ya ampun, Dis ! Kemarinnya lagi lo lewat jam berapa, sih ?!”
“Kalo nggak salah, sekitar jam setengah tujuh !”
“Ehm, waktu itu gue berangkat jam setengah tujuh kurang. Gue liat cowok itu lagi duduk santai di kursi mala situ. Gue semmpet menatapnya, dan dia balas menatap gue sambil melambaikan tangan dan tersenyum manis !”
“Masa, sih ?!”
“Biar di samber geledek !”
“Kok, gue nggak liat ?”
“Apa mungkin pas elo lewat, dia udah keburu masuk kamarnya ?”
“Ya, udah. Besok kita berangkat bareng, deh !’
Gadis jadi penasaran. Ia ingin melihat cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu, yang kubilang kerenya minta ampun. Padahal, ia sudah ngebela-belain lewat rumah itu. Tapi, ia tak pernah melihatnya ! Aku jadi heran, kenapa ia tak pernah melihatnya ? Padahal, aku selalu melihatnya. Apakah ini hanya kebetulan saja ? Mungkin waktu Gadis melintas, cowok itu memang sedang tak berada tak berada di atas loteng rumahnya ? Itulah sebabnya, besok pagi aku dan Gadis janjian berangkat bersama-sama.
Keesokan paginya, Gadis menjemputku. Kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Kami akan melintasi rumah itu , rumah seorang cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya. Aku berharap bisa melihat cowok itu, agar Gadis puas pada ceritaku. Agar Gadis pun tahu, betapa kerenya cowok itu !
Tetapi, aku dan Gadis tak menemukan cowok itu. Ketika kedua mata kami menatap ke atas loteng rumah itu, tak ada siapa-siapa selain tiang jemuran dan kursi malas. Aku jadi sebal, kenapa cowok itu tak menampakkan diri. Aku dan Gadis ingin menunggunya, tetapi kami takut terlambat tiba di sekolah. Lagi pula, kami merasa canggung pagi-pagi berdiri di depan rumah orang. Nanti dikira maling, lagi !
Saat pulang sekolah, aku lewat rumah itu lagi. Sedangkan, Gadis pulang seperti biasa, lewat jalan pintas yang lebih dekat dengan rumahnya. Ketika aku lewat di depan rumah itu sendirian, lagi-lagi cowok keren itu tengah berdiri di loteng rumahnya ! Aku ingin berteriak, tapi mendadak tubuhku gemetaran. Perasaan senang campur gugup jadi satu. Aku ingin berteriak memanggil Gadis, bermaksud ingin menunjukkan padanya bahwa cowok keren itu benar-benar ada. Tapi, tentu tidak mungkin ! Sayang sekali Gadis tak pulang bersamaku.
Saat melintas rumah itu, aku menatap kea rah loteng. Cowok keren itu pun menatap ke arahku, lalu tersenyum manis sambil menganggukan kepala. Aku bisa melihat jelas, lesung pipit di bagian kanan pipinya. Begitu manisnya ! Sayangnya, aku tak berani berkata-kata. Dan sialnya, cowok itu pun tak berkata-kata selain tersenyum.
Aku tak mungkin berhenti, lalu bicara padanya. Tak mungkin. Aku terus saja berjalan dan tak lagi menoleh ke arahnya. AKu tidak tahu, apakah cowok itu terus menatapku atau tidak. Aku hanya bisa berharap, cowok itu memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan ketika mentapnya. Mudah-mudahan, di lain waktu, ia turun dari loteng lalu menyapaku. Kami bicara di bawah, saling berkenalan.
Dan keesokan harinya, aku kembali melihat cowok keren itu tengah duduk santai di kursi malas itu. Cowok itu duduk menghadap ke jalan, seperti asyik meliahat kesibukan orang-orang yang melintasi rumahnya. Rumah berlantai dua yang pintu gerbangnya selalu tertutup itu memang selalu sepi. Aku tak pernah melihat penghuninya, selain cowok keren yang selalu berada di atas lotengnya. Seperti kemarin siang, aku dan dia saling tatap, tersenyum, dan cowok itu melambaikan tangan.
Di sekolah, kejadian ini kuceritakan kepada Gadis. Sayangnya, Gadis sudah memercayaiku lagi.
“Elo udah gila kali, Zha !” sungut Gadis, saat kuceritakan tentang cowok di atas loteng rumahnya itu.
“Please, Gadis ! Gue nggak bohong ! Kalo elo nggak percaya, buktiin sekali lagi. Siang ini, kita pulang bareng. Kita lewat rumah itu sama-sama. Biar elo bisa ngebuktiin sendiri, betapa kerennya cowok itu !”
“Oke, deh! Tapi, sekali ini aja. Kalo nanti nggak ada, gue nggak bakal percaya lagi sama cerita elo!”
“Oke! Siang ini, tunggu gue di gerbang sekolah. Kita pulang sama-sama !”
Siang itu, Gadis menungguku di gerbang sekolah-aku dan Gadis lain kelas. Setelah bertemu, aku dan Gadis pulang bersama-sama. Aku dan dia akan lewat rumah si cowok keren itu, yang selalu kutemui di atas loteng rumahnya. Sepanjang jalan, aku berharap, semoga cowok itu berada di atas loteng rumahnya ! Aku ingin Gadis pun melihat cowok itu !
Sayangnya, ketika melintasi rumah itu, cowok itu tak kami temukan ! Aku dan Gadis memperlambat langkah, siapa tahu cowok itu tengah berada di kamarnya. Dan, setelah melintasi beberapa meter, aku dan Gadis masih menoleh kea rah loteng rumah itu. Dan, kami pun memutuskan untuk diam beberapa menit di ujung jalan, menatap kea rah loteng rumah itu. Ya ampun, cowok itu tak juga muncul ! Hingga kesabaran kami pun habis !
“Gue yakin, mungkin selama ini Cuma halusinasi lo aja kali, Zha !” ucap Gadis, saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“Gue yakin, Dis, kalo tuh cowok benar-benar nyata !”
“Buktinya, gue kok nggak pernah liat tuh cowok? Jangan-jangan, elo udah gila ?!”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Karena selama ini, aku tak pernah bisa memperlihatkan cowok itu di mata Gadis. Kalau saja cowok itu ada saat aku dan Gadis melintas, Gadis percaya. Bukan malah menuduhku gila !
Sejak saat itu, Gadis tak lagi percaya pada ucapanku. Gadis tak percaya kalau di atas loteng rumah itu, ada seorang cowok keren yang selalu tersenyum padaku. Setiap pergi dan pulang sekolah, aku selalu melintasi rumah itu. Setiap kali melintasi rumah itu, cowok keren itu selalu berada di atas loteng rumahnya dan tak pernah lupa tersenyum sambil melambaikan tanagn ke arahku.
Aku jadi mabuk kepayang dibuatnya. Sayangnya, sampai saat ini, aku tak berani menyapanya, selain berhai-hai. Begitu pula cowok itu, tak pernah berusaha menhan langkahku selain tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin sekali aku mendengar ia menyapa. Lalu, aku berhenti. Dan, kami bercakap-cakap sebentar. Setelah itu, ia ke bawah, berkenalan denganku.
Saying seribu saying, sampai saat ini, kami tak pernah bicara selain saling melempar senyum. Oh. Cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya, siapakah kamu ?
Kenapa hanya aku yang bisa melihat kamu ? Kenapa tidak Gadis, atau Helen, Orin, Kikan, Putri, Ria juga Heny dan Chaca, yang akhirnya kuajak melihatmu, tapi tak pernah berhasil ?
SETELAH sekian lama memendam rasa penasaran dan hasrat yang begitu meluap-luap untuk bisa berkenalan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk mampir di rumah cowok itu.
Sepulang sekolah, kuketuk pintu pagar rumah itu, berharap seseorang keluar dari dalam pagar. Namun ketika kuketuk, justru seorang satpam yang keluar.
“Maaf, Non, mau cari siapa ?”
“Saya ingin bertemu dengan teman saya yang selalu berdiri di loteng itu, Pak.” Terpaksa aku berbohong kepada pak satpam itu. Padahal, aku belum kenal dengan cowok itu.
“Maaf, Non, rumah ini sudah tidak ada penghuninya. Selain Bapak, tidak ada orang lain yang tinggal di rumah ini. Seluruh penghuni rumah ini mengalami kecelakaan, termasuk putra tunggalnya yang mungkin teman si Non !”
“Tapi, Pak …”
“Maaf, Non, kecelakaannya memang baru tiga minggu lalu! Dan, itu pun belum sebulan mereka tinggal di rumah ini. Non harus tabah menghadapinya, ya.”
Seketika itu juga, kepalaku mendadak berat. Tubuhku terhuyung-huyung karena lemasnya. Hampir saja aku jatuh, bila tak dipapah pak satpam itu.
Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi tak berani menyapanya. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengenalnya. Aku hanya ingin bertanya, mengapa dia senang sekali berada di atas loteng rumahnya. Mengapa dia tidak berada di kamarnya saja, sehingga orang-orang tidak mengetahui apa yang tengah dilakukannya, Oh, jangan-jangan, di kompleks perumahanku ini, mungkin cuma aku yang selalu memerhatikan cowok itu ?
Ketika kutanyakan pada Gadis, temanku satu sekolah yang rumahnya satu kompleks dengan rumahku, ia bilang tak pernah memerhatikan seorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu. Saat kutanyakan, Gadis pun tahu, sebuah rumah berlantai dua yang lotengnya bagus, yang ada kursi malas di bagian sudutnya, yang di dekat jendelanya di tumbuhi pohon mangga. Selain jemuran, ia tak pernah melihat seseorang, laki-laki atau perempuan, tengah berada di atas loteng tersebut.
“Masa elo nggak pernah lihat ?” selidikku.
“Nggak pernah ! Sungguh !”
“Elo pernah lewat di depan rumah itu, kan ?”
“Pernahlah! Yang cat biru, kan ?”
“He-eh!”
“Yang loteng rumahnya agak luas dan pintu pagarnya selalu tergembok, kan ?”
“Tepat!”
“Gue kok, nggak pernah lihat siapa-siapa, ya ?”
“Ya udah, mungkin lain kali elo akan melihatnya. Tapi ingat ya, dia udah milik gue !” Kataku sambil melotot lucu, membuat Gadis tertawa geli.
BEGITULAH Gadis, cewek satu kompleks yang mengaku tak pernah melihat cowok itu. Aku yakin, mungkin Gadis tak pernah memerhatikan seseorang yang berada di atas loteng itu, sehingga ia tak pernah memedulikannya. Kalau dia pernah melihatnya, pasti dia akan merasa sangat takjub pada paras cowok yang begitu keren itu. Di kompleks perumahan ini, tak pernah kulihat cowok sekeren dia!
“Emang, cowoknya keren banget apa ?” tanya Gadis kemudian.
“Kayaknya, di kompleks ini, dia tuh nggak ada duanya !”
“Masa , sih ?!”
“Kalo nggak percaya, liat aja sendiri !”
“Iya deh, ntar gue liat !”
“Tapi jangan macam-macam, ya !”
“Hihihi …, tenang ! Emang gue cewek apaan, sih ! Kalo perlu, gue dukung elo, deh !”
“Nah … gitu, dong !”
Setelah mendengar ceritaku, Gadis pun ingin membuktikannya sendiri. Kalu biasanya ia sekolah lewat jalan pintas yang lebih dekat, belakngan ini ia lewat melaui pintu gerbang kompleks agar bisa melewati rumah berlantai dua yang kumaksud. Ia ingin membuktikan ceritaku, tentang seseorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya. Ia juga ingin tahu, seberapa kerennya cowok itu.
Tetapi, sudah dua hari lewat di depan rumah itu, Gadis mengaku tak pernah melihat apa-apa selain kursi malas, tiang jemuran, dan cabang pohon mangga yang menjuntai !
“Apakah karena cowok itu tak pernah lagi berada di loteng rumahnya ?” tanya Gadis, yang mengaku sudah dua hari berturut-turut selalu lewat di depan rumah cowok itu.
“Elo nggak liat ?”
“Nggak pernah !”
“Sekalipun ?”
“Nggak pernah ! Sumpah, deh !”
“Kemarin siang, elo lewat jam berapa ?”
“Jam setengah tujuhan !”
“Setengah tujuhan ? Gue lewat rumah itu jam setengah tujuh lewat ! Gue lihat cowok itu tengah menjemur handuk, seperti habis mandi ! Cowok itu mengeringkan rambutnya, membelakangi mata hari !”
“Ah, masa ?!”
“Bener ! Masa elo nggak liat ?”
“Mungkin pas gue lewat, dia lagi mandi kali ?”
“Mungkin juga, sih. Tapi, kemarinnya lagi, lo liat nggak ?”
“Lo gimana sih, Zha ?! Kalo ngeliat, itu namanya pernah ! Gue kan, udah bilang, gue nggak pernah liat cowok itu !”
“Ya ampun, Dis ! Kemarinnya lagi lo lewat jam berapa, sih ?!”
“Kalo nggak salah, sekitar jam setengah tujuh !”
“Ehm, waktu itu gue berangkat jam setengah tujuh kurang. Gue liat cowok itu lagi duduk santai di kursi mala situ. Gue semmpet menatapnya, dan dia balas menatap gue sambil melambaikan tangan dan tersenyum manis !”
“Masa, sih ?!”
“Biar di samber geledek !”
“Kok, gue nggak liat ?”
“Apa mungkin pas elo lewat, dia udah keburu masuk kamarnya ?”
“Ya, udah. Besok kita berangkat bareng, deh !’
Gadis jadi penasaran. Ia ingin melihat cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu, yang kubilang kerenya minta ampun. Padahal, ia sudah ngebela-belain lewat rumah itu. Tapi, ia tak pernah melihatnya ! Aku jadi heran, kenapa ia tak pernah melihatnya ? Padahal, aku selalu melihatnya. Apakah ini hanya kebetulan saja ? Mungkin waktu Gadis melintas, cowok itu memang sedang tak berada tak berada di atas loteng rumahnya ? Itulah sebabnya, besok pagi aku dan Gadis janjian berangkat bersama-sama.
Keesokan paginya, Gadis menjemputku. Kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Kami akan melintasi rumah itu , rumah seorang cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya. Aku berharap bisa melihat cowok itu, agar Gadis puas pada ceritaku. Agar Gadis pun tahu, betapa kerenya cowok itu !
Tetapi, aku dan Gadis tak menemukan cowok itu. Ketika kedua mata kami menatap ke atas loteng rumah itu, tak ada siapa-siapa selain tiang jemuran dan kursi malas. Aku jadi sebal, kenapa cowok itu tak menampakkan diri. Aku dan Gadis ingin menunggunya, tetapi kami takut terlambat tiba di sekolah. Lagi pula, kami merasa canggung pagi-pagi berdiri di depan rumah orang. Nanti dikira maling, lagi !
Saat pulang sekolah, aku lewat rumah itu lagi. Sedangkan, Gadis pulang seperti biasa, lewat jalan pintas yang lebih dekat dengan rumahnya. Ketika aku lewat di depan rumah itu sendirian, lagi-lagi cowok keren itu tengah berdiri di loteng rumahnya ! Aku ingin berteriak, tapi mendadak tubuhku gemetaran. Perasaan senang campur gugup jadi satu. Aku ingin berteriak memanggil Gadis, bermaksud ingin menunjukkan padanya bahwa cowok keren itu benar-benar ada. Tapi, tentu tidak mungkin ! Sayang sekali Gadis tak pulang bersamaku.
Saat melintas rumah itu, aku menatap kea rah loteng. Cowok keren itu pun menatap ke arahku, lalu tersenyum manis sambil menganggukan kepala. Aku bisa melihat jelas, lesung pipit di bagian kanan pipinya. Begitu manisnya ! Sayangnya, aku tak berani berkata-kata. Dan sialnya, cowok itu pun tak berkata-kata selain tersenyum.
Aku tak mungkin berhenti, lalu bicara padanya. Tak mungkin. Aku terus saja berjalan dan tak lagi menoleh ke arahnya. AKu tidak tahu, apakah cowok itu terus menatapku atau tidak. Aku hanya bisa berharap, cowok itu memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan ketika mentapnya. Mudah-mudahan, di lain waktu, ia turun dari loteng lalu menyapaku. Kami bicara di bawah, saling berkenalan.
Dan keesokan harinya, aku kembali melihat cowok keren itu tengah duduk santai di kursi malas itu. Cowok itu duduk menghadap ke jalan, seperti asyik meliahat kesibukan orang-orang yang melintasi rumahnya. Rumah berlantai dua yang pintu gerbangnya selalu tertutup itu memang selalu sepi. Aku tak pernah melihat penghuninya, selain cowok keren yang selalu berada di atas lotengnya. Seperti kemarin siang, aku dan dia saling tatap, tersenyum, dan cowok itu melambaikan tangan.
Di sekolah, kejadian ini kuceritakan kepada Gadis. Sayangnya, Gadis sudah memercayaiku lagi.
“Elo udah gila kali, Zha !” sungut Gadis, saat kuceritakan tentang cowok di atas loteng rumahnya itu.
“Please, Gadis ! Gue nggak bohong ! Kalo elo nggak percaya, buktiin sekali lagi. Siang ini, kita pulang bareng. Kita lewat rumah itu sama-sama. Biar elo bisa ngebuktiin sendiri, betapa kerennya cowok itu !”
“Oke, deh! Tapi, sekali ini aja. Kalo nanti nggak ada, gue nggak bakal percaya lagi sama cerita elo!”
“Oke! Siang ini, tunggu gue di gerbang sekolah. Kita pulang sama-sama !”
Siang itu, Gadis menungguku di gerbang sekolah-aku dan Gadis lain kelas. Setelah bertemu, aku dan Gadis pulang bersama-sama. Aku dan dia akan lewat rumah si cowok keren itu, yang selalu kutemui di atas loteng rumahnya. Sepanjang jalan, aku berharap, semoga cowok itu berada di atas loteng rumahnya ! Aku ingin Gadis pun melihat cowok itu !
Sayangnya, ketika melintasi rumah itu, cowok itu tak kami temukan ! Aku dan Gadis memperlambat langkah, siapa tahu cowok itu tengah berada di kamarnya. Dan, setelah melintasi beberapa meter, aku dan Gadis masih menoleh kea rah loteng rumah itu. Dan, kami pun memutuskan untuk diam beberapa menit di ujung jalan, menatap kea rah loteng rumah itu. Ya ampun, cowok itu tak juga muncul ! Hingga kesabaran kami pun habis !
“Gue yakin, mungkin selama ini Cuma halusinasi lo aja kali, Zha !” ucap Gadis, saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“Gue yakin, Dis, kalo tuh cowok benar-benar nyata !”
“Buktinya, gue kok nggak pernah liat tuh cowok? Jangan-jangan, elo udah gila ?!”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Karena selama ini, aku tak pernah bisa memperlihatkan cowok itu di mata Gadis. Kalau saja cowok itu ada saat aku dan Gadis melintas, Gadis percaya. Bukan malah menuduhku gila !
Sejak saat itu, Gadis tak lagi percaya pada ucapanku. Gadis tak percaya kalau di atas loteng rumah itu, ada seorang cowok keren yang selalu tersenyum padaku. Setiap pergi dan pulang sekolah, aku selalu melintasi rumah itu. Setiap kali melintasi rumah itu, cowok keren itu selalu berada di atas loteng rumahnya dan tak pernah lupa tersenyum sambil melambaikan tanagn ke arahku.
Aku jadi mabuk kepayang dibuatnya. Sayangnya, sampai saat ini, aku tak berani menyapanya, selain berhai-hai. Begitu pula cowok itu, tak pernah berusaha menhan langkahku selain tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin sekali aku mendengar ia menyapa. Lalu, aku berhenti. Dan, kami bercakap-cakap sebentar. Setelah itu, ia ke bawah, berkenalan denganku.
Saying seribu saying, sampai saat ini, kami tak pernah bicara selain saling melempar senyum. Oh. Cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya, siapakah kamu ?
Kenapa hanya aku yang bisa melihat kamu ? Kenapa tidak Gadis, atau Helen, Orin, Kikan, Putri, Ria juga Heny dan Chaca, yang akhirnya kuajak melihatmu, tapi tak pernah berhasil ?
SETELAH sekian lama memendam rasa penasaran dan hasrat yang begitu meluap-luap untuk bisa berkenalan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk mampir di rumah cowok itu.
Sepulang sekolah, kuketuk pintu pagar rumah itu, berharap seseorang keluar dari dalam pagar. Namun ketika kuketuk, justru seorang satpam yang keluar.
“Maaf, Non, mau cari siapa ?”
“Saya ingin bertemu dengan teman saya yang selalu berdiri di loteng itu, Pak.” Terpaksa aku berbohong kepada pak satpam itu. Padahal, aku belum kenal dengan cowok itu.
“Maaf, Non, rumah ini sudah tidak ada penghuninya. Selain Bapak, tidak ada orang lain yang tinggal di rumah ini. Seluruh penghuni rumah ini mengalami kecelakaan, termasuk putra tunggalnya yang mungkin teman si Non !”
“Tapi, Pak …”
“Maaf, Non, kecelakaannya memang baru tiga minggu lalu! Dan, itu pun belum sebulan mereka tinggal di rumah ini. Non harus tabah menghadapinya, ya.”
Seketika itu juga, kepalaku mendadak berat. Tubuhku terhuyung-huyung karena lemasnya. Hampir saja aku jatuh, bila tak dipapah pak satpam itu.
0 komentar:
Posting Komentar