MAWAR MERAH LUNA TORASHYNGU...^^


MAWAR MERA :: MOSAIK,,trilogi pertama MAWAR MERAH,, ceritanya tentang pembunuh bayaran wanita yang disebut double M ( Mawar Merah )


MAWAR MERAH :: METAMORFOSIS,, trilogi kedua MAWAR MERAH masih bercerita tentang pembunuh bayaran,,namun ditambah cerita-cerita yang pasti lebi seru...
MAWAR MERAH :: MATAHARI,,trilogi ketiga MAWAR MERAH..belum terbit..dan bakal ditunggu secepatnya..



D'ANGEL ,, Trilogi pertama D'ANGEL..bercerita tentang seorang anak GENOID, anak yang mempunyai kemampuan luar biasa,,cewek yang sempurna...APA ITU GENOID ?? baca di novel ini.


D'ANGEL :: ROSE,, trilogi kedua D'ANGEL...masih bercerita tentang cewek GENOID dan kehidupannya yang sangat di luar keinginannya..


D'ANGEL :: Princess, Trilogi Ketiga D'ANGEL,,kali ini cewek GENOID di minta untuk menjadi pengawal anak presiden yang sangat menentang kehadirannya. Dan berusaha menemukan teka teki dari dunia GENOID dan ditambah lagi kemunculan GENOID lain yang kemampuannya jauh lebih dasyat daripada dirinya. Saat harus melawan GENOID baru, ia tak mau bertanya-tanya, apakah ini akhir kehidupannya ??
PENASARAN dengan cerita-ceritanya..MAKANYA BACA !!




Cowok di Loteng Rumahnya

Cowok itu selalu berada di loteng rumahnya. Setiap kali ke sekolah, aku selalu melihatnya, menemukan cowok itu duduk menjuntaikan kakinya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Di lain waktu, aku melihat ia tengah menyandar pada dinding loteng yang tidak terlalu tinggi itu. Ia duduk dengan santai, seolah menikmati hari-hari tanpa beban berarti. Dan di lain kesempatan, ketika pulang sekolah, aku menemukan cowok itu tengah tidur pulas di sebuah bangku malas, di lotengnya yang menghadap ke jalan dan bisa dilihat dengan jelas dari bawah rumahnya itu.
Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi tak berani menyapanya. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengenalnya. Aku hanya ingin bertanya, mengapa dia senang sekali berada di atas loteng rumahnya. Mengapa dia tidak berada di kamarnya saja, sehingga orang-orang tidak mengetahui apa yang tengah dilakukannya, Oh, jangan-jangan, di kompleks perumahanku ini, mungkin cuma aku yang selalu memerhatikan cowok itu ?
Ketika kutanyakan pada Gadis, temanku satu sekolah yang rumahnya satu kompleks dengan rumahku, ia bilang tak pernah memerhatikan seorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu. Saat kutanyakan, Gadis pun tahu, sebuah rumah berlantai dua yang lotengnya bagus, yang ada kursi malas di bagian sudutnya, yang di dekat jendelanya di tumbuhi pohon mangga. Selain jemuran, ia tak pernah melihat seseorang, laki-laki atau perempuan, tengah berada di atas loteng tersebut.
“Masa elo nggak pernah lihat ?” selidikku.
“Nggak pernah ! Sungguh !”
“Elo pernah lewat di depan rumah itu, kan ?”
“Pernahlah! Yang cat biru, kan ?”
“He-eh!”
“Yang loteng rumahnya agak luas dan pintu pagarnya selalu tergembok, kan ?”
“Tepat!”
“Gue kok, nggak pernah lihat siapa-siapa, ya ?”
“Ya udah, mungkin lain kali elo akan melihatnya. Tapi ingat ya, dia udah milik gue !” Kataku sambil melotot lucu, membuat Gadis tertawa geli.





BEGITULAH Gadis, cewek satu kompleks yang mengaku tak pernah melihat cowok itu. Aku yakin, mungkin Gadis tak pernah memerhatikan seseorang yang berada di atas loteng itu, sehingga ia tak pernah memedulikannya. Kalau dia pernah melihatnya, pasti dia akan merasa sangat takjub pada paras cowok yang begitu keren itu. Di kompleks perumahan ini, tak pernah kulihat cowok sekeren dia!
“Emang, cowoknya keren banget apa ?” tanya Gadis kemudian.
“Kayaknya, di kompleks ini, dia tuh nggak ada duanya !”
“Masa , sih ?!”
“Kalo nggak percaya, liat aja sendiri !”
“Iya deh, ntar gue liat !”
“Tapi jangan macam-macam, ya !”
“Hihihi …, tenang ! Emang gue cewek apaan, sih ! Kalo perlu, gue dukung elo, deh !”
“Nah … gitu, dong !”
Setelah mendengar ceritaku, Gadis pun ingin membuktikannya sendiri. Kalu biasanya ia sekolah lewat jalan pintas yang lebih dekat, belakngan ini ia lewat melaui pintu gerbang kompleks agar bisa melewati rumah berlantai dua yang kumaksud. Ia ingin membuktikan ceritaku, tentang seseorang cowok yang selalu berada di loteng rumahnya. Ia juga ingin tahu, seberapa kerennya cowok itu.
Tetapi, sudah dua hari lewat di depan rumah itu, Gadis mengaku tak pernah melihat apa-apa selain kursi malas, tiang jemuran, dan cabang pohon mangga yang menjuntai !
“Apakah karena cowok itu tak pernah lagi berada di loteng rumahnya ?” tanya Gadis, yang mengaku sudah dua hari berturut-turut selalu lewat di depan rumah cowok itu.
“Elo nggak liat ?”
“Nggak pernah !”
“Sekalipun ?”
“Nggak pernah ! Sumpah, deh !”
“Kemarin siang, elo lewat jam berapa ?”
“Jam setengah tujuhan !”
“Setengah tujuhan ? Gue lewat rumah itu jam setengah tujuh lewat ! Gue lihat cowok itu tengah menjemur handuk, seperti habis mandi ! Cowok itu mengeringkan rambutnya, membelakangi mata hari !”
“Ah, masa ?!”
“Bener ! Masa elo nggak liat ?”
“Mungkin pas gue lewat, dia lagi mandi kali ?”
“Mungkin juga, sih. Tapi, kemarinnya lagi, lo liat nggak ?”
“Lo gimana sih, Zha ?! Kalo ngeliat, itu namanya pernah ! Gue kan, udah bilang, gue nggak pernah liat cowok itu !”
“Ya ampun, Dis ! Kemarinnya lagi lo lewat jam berapa, sih ?!”
“Kalo nggak salah, sekitar jam setengah tujuh !”
“Ehm, waktu itu gue berangkat jam setengah tujuh kurang. Gue liat cowok itu lagi duduk santai di kursi mala situ. Gue semmpet menatapnya, dan dia balas menatap gue sambil melambaikan tangan dan tersenyum manis !”
“Masa, sih ?!”
“Biar di samber geledek !”
“Kok, gue nggak liat ?”
“Apa mungkin pas elo lewat, dia udah keburu masuk kamarnya ?”
“Ya, udah. Besok kita berangkat bareng, deh !’
Gadis jadi penasaran. Ia ingin melihat cowok yang selalu berada di loteng rumahnya itu, yang kubilang kerenya minta ampun. Padahal, ia sudah ngebela-belain lewat rumah itu. Tapi, ia tak pernah melihatnya ! Aku jadi heran, kenapa ia tak pernah melihatnya ? Padahal, aku selalu melihatnya. Apakah ini hanya kebetulan saja ? Mungkin waktu Gadis melintas, cowok itu memang sedang tak berada tak berada di atas loteng rumahnya ? Itulah sebabnya, besok pagi aku dan Gadis janjian berangkat bersama-sama.
Keesokan paginya, Gadis menjemputku. Kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Kami akan melintasi rumah itu , rumah seorang cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya. Aku berharap bisa melihat cowok itu, agar Gadis puas pada ceritaku. Agar Gadis pun tahu, betapa kerenya cowok itu !
Tetapi, aku dan Gadis tak menemukan cowok itu. Ketika kedua mata kami menatap ke atas loteng rumah itu, tak ada siapa-siapa selain tiang jemuran dan kursi malas. Aku jadi sebal, kenapa cowok itu tak menampakkan diri. Aku dan Gadis ingin menunggunya, tetapi kami takut terlambat tiba di sekolah. Lagi pula, kami merasa canggung pagi-pagi berdiri di depan rumah orang. Nanti dikira maling, lagi !
Saat pulang sekolah, aku lewat rumah itu lagi. Sedangkan, Gadis pulang seperti biasa, lewat jalan pintas yang lebih dekat dengan rumahnya. Ketika aku lewat di depan rumah itu sendirian, lagi-lagi cowok keren itu tengah berdiri di loteng rumahnya ! Aku ingin berteriak, tapi mendadak tubuhku gemetaran. Perasaan senang campur gugup jadi satu. Aku ingin berteriak memanggil Gadis, bermaksud ingin menunjukkan padanya bahwa cowok keren itu benar-benar ada. Tapi, tentu tidak mungkin ! Sayang sekali Gadis tak pulang bersamaku.
Saat melintas rumah itu, aku menatap kea rah loteng. Cowok keren itu pun menatap ke arahku, lalu tersenyum manis sambil menganggukan kepala. Aku bisa melihat jelas, lesung pipit di bagian kanan pipinya. Begitu manisnya ! Sayangnya, aku tak berani berkata-kata. Dan sialnya, cowok itu pun tak berkata-kata selain tersenyum.
Aku tak mungkin berhenti, lalu bicara padanya. Tak mungkin. Aku terus saja berjalan dan tak lagi menoleh ke arahnya. AKu tidak tahu, apakah cowok itu terus menatapku atau tidak. Aku hanya bisa berharap, cowok itu memiliki perasaan yang sama seperti yang aku rasakan ketika mentapnya. Mudah-mudahan, di lain waktu, ia turun dari loteng lalu menyapaku. Kami bicara di bawah, saling berkenalan.
Dan keesokan harinya, aku kembali melihat cowok keren itu tengah duduk santai di kursi malas itu. Cowok itu duduk menghadap ke jalan, seperti asyik meliahat kesibukan orang-orang yang melintasi rumahnya. Rumah berlantai dua yang pintu gerbangnya selalu tertutup itu memang selalu sepi. Aku tak pernah melihat penghuninya, selain cowok keren yang selalu berada di atas lotengnya. Seperti kemarin siang, aku dan dia saling tatap, tersenyum, dan cowok itu melambaikan tangan.
Di sekolah, kejadian ini kuceritakan kepada Gadis. Sayangnya, Gadis sudah memercayaiku lagi.
“Elo udah gila kali, Zha !” sungut Gadis, saat kuceritakan tentang cowok di atas loteng rumahnya itu.
“Please, Gadis ! Gue nggak bohong ! Kalo elo nggak percaya, buktiin sekali lagi. Siang ini, kita pulang bareng. Kita lewat rumah itu sama-sama. Biar elo bisa ngebuktiin sendiri, betapa kerennya cowok itu !”
“Oke, deh! Tapi, sekali ini aja. Kalo nanti nggak ada, gue nggak bakal percaya lagi sama cerita elo!”
“Oke! Siang ini, tunggu gue di gerbang sekolah. Kita pulang sama-sama !”
Siang itu, Gadis menungguku di gerbang sekolah-aku dan Gadis lain kelas. Setelah bertemu, aku dan Gadis pulang bersama-sama. Aku dan dia akan lewat rumah si cowok keren itu, yang selalu kutemui di atas loteng rumahnya. Sepanjang jalan, aku berharap, semoga cowok itu berada di atas loteng rumahnya ! Aku ingin Gadis pun melihat cowok itu !
Sayangnya, ketika melintasi rumah itu, cowok itu tak kami temukan ! Aku dan Gadis memperlambat langkah, siapa tahu cowok itu tengah berada di kamarnya. Dan, setelah melintasi beberapa meter, aku dan Gadis masih menoleh kea rah loteng rumah itu. Dan, kami pun memutuskan untuk diam beberapa menit di ujung jalan, menatap kea rah loteng rumah itu. Ya ampun, cowok itu tak juga muncul ! Hingga kesabaran kami pun habis !
“Gue yakin, mungkin selama ini Cuma halusinasi lo aja kali, Zha !” ucap Gadis, saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“Gue yakin, Dis, kalo tuh cowok benar-benar nyata !”
“Buktinya, gue kok nggak pernah liat tuh cowok? Jangan-jangan, elo udah gila ?!”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Karena selama ini, aku tak pernah bisa memperlihatkan cowok itu di mata Gadis. Kalau saja cowok itu ada saat aku dan Gadis melintas, Gadis percaya. Bukan malah menuduhku gila !
Sejak saat itu, Gadis tak lagi percaya pada ucapanku. Gadis tak percaya kalau di atas loteng rumah itu, ada seorang cowok keren yang selalu tersenyum padaku. Setiap pergi dan pulang sekolah, aku selalu melintasi rumah itu. Setiap kali melintasi rumah itu, cowok keren itu selalu berada di atas loteng rumahnya dan tak pernah lupa tersenyum sambil melambaikan tanagn ke arahku.
Aku jadi mabuk kepayang dibuatnya. Sayangnya, sampai saat ini, aku tak berani menyapanya, selain berhai-hai. Begitu pula cowok itu, tak pernah berusaha menhan langkahku selain tersenyum dan melambaikan tangan. Ingin sekali aku mendengar ia menyapa. Lalu, aku berhenti. Dan, kami bercakap-cakap sebentar. Setelah itu, ia ke bawah, berkenalan denganku.
Saying seribu saying, sampai saat ini, kami tak pernah bicara selain saling melempar senyum. Oh. Cowok yang selalu berada di atas loteng rumahnya, siapakah kamu ?
Kenapa hanya aku yang bisa melihat kamu ? Kenapa tidak Gadis, atau Helen, Orin, Kikan, Putri, Ria juga Heny dan Chaca, yang akhirnya kuajak melihatmu, tapi tak pernah berhasil ?
SETELAH sekian lama memendam rasa penasaran dan hasrat yang begitu meluap-luap untuk bisa berkenalan dengannya, akhirnya aku memutuskan untuk mampir di rumah cowok itu.
Sepulang sekolah, kuketuk pintu pagar rumah itu, berharap seseorang keluar dari dalam pagar. Namun ketika kuketuk, justru seorang satpam yang keluar.
“Maaf, Non, mau cari siapa ?”
“Saya ingin bertemu dengan teman saya yang selalu berdiri di loteng itu, Pak.” Terpaksa aku berbohong kepada pak satpam itu. Padahal, aku belum kenal dengan cowok itu.
“Maaf, Non, rumah ini sudah tidak ada penghuninya. Selain Bapak, tidak ada orang lain yang tinggal di rumah ini. Seluruh penghuni rumah ini mengalami kecelakaan, termasuk putra tunggalnya yang mungkin teman si Non !”
“Tapi, Pak …”
“Maaf, Non, kecelakaannya memang baru tiga minggu lalu! Dan, itu pun belum sebulan mereka tinggal di rumah ini. Non harus tabah menghadapinya, ya.”
Seketika itu juga, kepalaku mendadak berat. Tubuhku terhuyung-huyung karena lemasnya. Hampir saja aku jatuh, bila tak dipapah pak satpam itu.

ADIT, AKU BENCI KAMU

Di kamarku, suatu malam, pukul 22.15 WIB.
Aku berbaring di atas kasurku. Menatap langit-langit kamar. Membayangkan wajah adit yang sedikit oriental. Sorot matanya yang sipit, membuat degup jantungku berantakan. Mengingat hal ini, rasanya tetesan air bening ingin jatuh dari pelupuk mataku.
Gimana nggak ?Sudah sebulan aku mengenalnya, tapi harus bubar di tengah jalan. Adit ternyata cowok brengsek yang ada bedanya sama cowok playboy kebanyakan ! mengingatnya, aku menjadi sebel banget. Setiap kali hendak kulupakan wajahnya, yang terjadi justru terus terbayang-bayang. Aku tak bisa melenyapkan dirinya barang sedikit saja. Buset !

Di koridor sekolah, tiga minggu lalu, jam istirahat…
“Eh, Cha, lihat tuh cowok yang lagi dribble bola! Keren banget ya…”
“Nggak lo suruh, gue udah liat, kok!”
“Sial, lo!”
“Namanya siapa, sih ?”
“Adit ! Anak pindahan dari SMA tukar guling!”
“Anak pindahan SMA tukar guling ?! Maksudnya apa, Rin ?!”
“Maksudnya, SMA si Adit tuh, terpaksa ditukar dengan bangunan mal. Ia dan teman-temannya pindah ke SMA lain. Dan, Adit memilih sekolah ini !”
“Untung ada tukar guling ! Gue jadi bias ngeliat tuh anak !”
“Dasar lo ! Makanya, mumpung ada kesempatan, lo godain, gih !”
“Nggak, ah! Gue nggak pede!”
“ Cepetan! Ntar diserobot cewek lain, baru tau rasa lo!”
Karena desakan Echa, dan keinginanku mengenal Adit yang menggebu-gebu, aku mencoba mendekatinya. Aku masih belum tahu gimana cara menarik perhatiannya. Masa bodo, ah! Yang penting usaha dulu. Kebetulan, tuh cowok duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan, mengelap keringatnya yang ampun-ampunan derasnya.
Aku duduk di bangku itu, di sebelahnya. Ya, ampun ! Baru kali ini aku merasa seperti berada di tempat asing. Padahal, ini sekolahku. Aku kok, jadi panas dingin begini ? Aku hampir nggak kuat duduk di sebelahnya. Karena selain nggak tahan ngeliat tampangnya, aku juga mikirin apa langkah selanjutnya agar aku bias ngobrol dengannya.
Apa kira-kira, kata pertama yang semestinya kutanyakan kepada Adit ?
“Hai ! Adit ya …?”Uh, kayaknya kampungan banget! Atau, “Permainan kamu bagus banget, deh! Siapa nama kamu?” Wuih, kayaknya basi banget! Atau, “Boleh kenalan, nggak ?” Huaaaa! Kok, jadi malah norak ? Ntar bisa dicap cewek kegatelan lagi !
Belum sempat berkata-kata, Adit meninggalkan bangku panjang itu. Aku hanya bias menarik napas kuat-kuat, lalu mengembuskannya perlahan karena saking gugupnya. Ketika pergi, Adit nggak membawa handuknya yang tadi buat mengelap keringatnya. Nah, ini nih kesempatan emas, agar aku bisa bercakap-cakap dengannya.
Handuknya itu kuambil, lalu aku mengejarnya.
“Adit !”
Adit berhenti. Aku berlari ke arahnya.
“Handuk kamu ketinggalan …”
Kuberikan handuk itu padanya. Adit menerimanya. Tapi, ketika kutatap wajanhya, keningnya berkerut-kerut, seolah aneh atas sikapku yang menurutku sungguh mulia.
“Sorry, aku tahu nama kamu dari temanku!”
“Makasih!Tapi,handuk ini emang sengaja aku taruh dibangku itu!Ntar juga aku balik lagi !”
HUAAAAAAHHH! Tiba-tiba, bumi gonjang-ganjing. Lututku langsung gemetaran. Semprul! Mau ditaruh dimana mukaku ?! Mati gaya beraaaat !
“ Ya udah, aku taruh lagi, ya …”
Setelah itu, kuletakkan kembali handuk itu. Diam-diam, kutinggalkan bangku panjang itu, menuju kelasku. Namun, sebelum tiba di kelas, Echa menyambutku di ujung koridor. Ia tersenyum-senyum mentapku.
“Selamat, ya! Hebat juga lo !”
“Hebat apaan, Cha?”
“Baru kenal, udah di percaya bawa-bawa handuknya …”
“Kampret lo ! Elo pikir, gue baik-baik aja?! Nih lo dengerin …” Kutarik telapak tangan Echa tepat di dadaku. Echa menurut, merasakan ada suara berdetak-detak seperti suara bas drum. Duk! Duk! Duk!

Tiga jam setelah malu karena salah memberikan handuknya …
Aku jadi nggak konsen pada jam pelajaran terakhir. Aku masih aja teringat pada kebodohanku di pinggir lapangan basket tadi. Dengan langkah gontai, kutinggalkan gerbang sekolah. Siang ini, aku pulang sendirian karena Echa dijemput gebetannya.
Ketika baru selangkah meninggalkan gerbang, seseorang memanggilku dari atas sepeda motornya.
“ Hai …! Mau bareng …?”
Ya ampun …! ADIT !
“Aku …”
Huh! Mulai deh, gengsinya !
“Ayo! Bareng aku! Kamu yang tadi ngasih handuk, kan ?”
Yaelaaaa, dia pake sok lupa segala! Baru tiga jam …
“Oke, deh !”
Nah! Gitu, dong! Pake pura-pura!
Akhirnya, aku ikut diboncengnya. Kupikir, ternyata ada untungnya juga kejadian tadi siang. Meskipun ada acara mati gayanya, aku cukup beruntung bisa memberikan handuknya itu.

Di sebuah warung bakso, sepulang sekolah …
Adit mengajakku mampir di warung bakso. Kebatulan, aku juga agak-agak lapar. Tapi … ketika ia menawarkan bakso itu, aku sok-sokan menolak…
“Jadi, kamu nggak mau makan ?”
“Aku minum aja, deh …”
Lho?! Sebel rasanya sama diriku yang sok jual mahal. Kenapa aku nggak terus terang aja kalau aku juga lapar ?
“Bener nih, nggak mau makan …?”
“Nggak, deh. Aku minum the botol aja !”
Huuuuh! Bener-bener sok deh, aku ini! Bener-bener muna!
Akhirnya, aku menemani Adit yang ternyata cukup rakus. Adit memesan dua mangkuk bakso untuk dirinya sendiri.
“ Sorry ya, lapar berat, nih …”
Aku Cuma tersenyum. Adit menikmati bakso dengan lahapnya. Tenggorokanku ceglak cegluk. Sial ! Aku jadi lapar beraaaat! Tapi, aku nggak mau menarik kata-kataku sendiri. Biar saja lapar ini kutahan.

Di pinggir lapangan, seminggu setelah menenami Adit makan Bakso …
Bangga juga duduk di pinggir lapangan, menunggui Adit main basket. Apalagi permainan Adit begitu memukau. Semua penonton bersorak sorai menyambut kehebatan Adit mengecoh lawan, memasukkan bola ke ring dengan cara slam dunk ! Satu-dua cewek histeris, bereteriak-teriak menyebut-nyebut namanya.
Saat break, Adit melangkah ke arahku. Aku memberinya handuk. Adit duduk di sebelahku sambil mengelap keringatnya, lalu meletakkan handuk itu di pangkuannya. Sungguh, aku merasa pede sekali. Aku merasa, cewek-cewek yang tadi bersorak-sorak, iri melihat kedekatanku dengan Adit siang itu.

Tiga jam setelah menemani Adit main basket …
Seperti biasa, pulang sekolah, aku ikut boncengan motor Adit. Echa yang memaksa-maksa ingin pulang bareng, kutolak mentah-mentah. Enak aja ! Kalo dijemput cowoknya, aku dicuekin pulang sendiri. Pas nggak dijemput, baru deh, minta pulang bareng! Gantian, dong! Sekarang, aku yang giliran pulang bareng dengan cowokku! Eeeh … cowokku ?! Ngaku-ngaku aja, ya….? Baru seminggu ikut boncengan, udah ngaku-ngaku! Padahal aku dan Adit nggak pernah menyinggung-nyinggung soal kedekatan ini! Sumpeh !

Dua minggu kemudian …
Siang itu, aku pulang bareng Echa karena Adit lagi ada urusan. Entah urusan apa.
“Gimana rasanya pulang sekolah nggak bareng pacar ?”
“Pacar apa?! Pacar, pacar ! Jangan asal sebut, deh !”
“Setiap hari diboncengin motor, apa bukan pacar namanya ?!”
“Nggak taulah !”
“Lho?! Elo kok, gitu sih, Rin ?! Kok, jadi balik nggak pede gini ? Baru nggak dianter pulang sehari aja, udah kayak orang patah hati gitu ?”
Si Echa ini bener-bener nggak atu, apa?! Aku dan Adit kan, punya masalah yang cukup besar ! Bayangin aja ! Sampai detik ini, dua minggu sejak pulang bareng dengannya, aku masih aja nggak habis pikir. Bingung pada sikap Adit yang menurutku sangat tidak sopan !
Gimana nggak ? Masa sejak pertama kali ketemu, Adit nggak pernah sekali aja menyebut namaku ? Aku khawatir, jangan-jangan, Adit nggak tahu siapa namaku ?! Sempruuuuul !!!

Sehari setelah pulang nggak bareng Adit…
“Lho! Nggak bareng Adit lagi ?!”
“Nggak, ah! Males!”
“Kenapa, Rin?”
“Aku ingin pulang sendiri aja!”
“Ya, udah! Kalo gitu, aku duluan, ya…!”
Echa dan cowoknya meninggalkan aku yang jalan sendirian. Nggak lama kemudian, motor Adit tiba disampingku. Adit tersenyum menatapku. Begitu pula cewek yang duduk di boncengannya.
“Hei! Kita duluan, ya …!”
Aku mengangguk, melepas kepergiannya. Setelah itu, mendadak air mataku tumpah di pipi. Aku menangis sepanjang jalan menuju halte bus.

Di kamarku, malam ini, pukul 22.15 WIB …
Sejak kejadian siang tadi, aku mengurung diri di kamarku. Hanya berbaring di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar. Membayangkan wajah Adit yang sedikit oriental. Sorot matanya yang sipit, membuat degup jantungku berantakan. Mengingat hal ini, rasanya tetesan air bening ingin jatuh dari pelupuk mataku.
Gimana nggak ?Sudah sebulan aku mengenalnya, tapi harus bubar di tengah jalan. Adit ternyata cowok brengsek yang ada bedanya sama cowok playboy kebanyakan ! mengingatnya, aku menjadi sebel banget. Setiap kali hendak kulupakan wajahnya, yang terjadi justru terus terbayang-bayang. Aku tak bisa melenyapkan dirinya barang sedikit saja. Bujubuneng !

Lima detik kemudian, telepon berdering …
“Halo!”
“Hai, Rin ! Gue Adit ! Apa kabar ?”
“Adit ???!”
“Iya, gue !”
“Kok, tau ….nomorku ?!”
Wajar dong, kalo aku tanya gitu ? Aku belum pernah memberinya nomor telepon. Jangankan tanya nomor telepon, tanya namaku saja dia belum pernah !!! Tapi …tadi dia menyebut namaku juga …?
“Tau, dong …! Kan, punya banyak mata-mata. Ngomong-ngomong, kamu lagi ngapain ?”
“Lagi bĂȘte ! Kenapa sih, malam-malam gini nelepon ?!”
“Kangen aja! Eh…besok kita pulang bareng lagi, ya …”
“HAH ???!”
“Kok, hah ?!”
“Ntar, cewek yang tadi kamu anter , marah !”
“Tadi itu temenku! Dia kan, Cuma buat manas-manasin kamu aja!”
“APAAA?! BUAT MANAS-MANASIN AKU ?! BRENGSEK LO, DIT!”Klik! Telepon langsung kututup. Tak lama kemudian, telepon itu bunyi lagi. Kubiarkan saja telepon itu menjerit-jerit hingga mamaku yang mengangkat. Dan, mama memaksa agar aku menerima telepon dari cowok bernama Aditya itu. Aku bilang, aku tak mengenalnya. Biar saja! Habis, aku benci banget sama dia !